Jumat, 23 Mei 2014

Pendidikan Aceh Kritis

Langsa, Tabloid Prestasi

ACEH sekarang ini merupakan satu provinsi yang unik di Republik Indonesia. Seumpama gambar, tak ubahnya bagaikan sebuah bangun segitiga tak mungkin. Dimensi-dimensinya susah diterjemahkan, dan sudut-sudutnya mengandung anomali. Mustahil dalam tiori tetapi ada dalam kenyataan. 

Betapa tidak, dalam membangun dunia pendidikan misalnya, provinsi yang terletak di ujung barat pulau Sumatra ini memiliki uang yang cukup banyak dikucurkan untuk biaya pendidikan. Namun ongkos yang dibutuhkan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya masih tetap saja  mahal. Sementara kualitasnya makin terpuruk. 


Tahun 2013 lalu, misalnya, kegelapan dengan sempurna menyelimuti pendidikan di Aceh. Karena Aceh menduduki peringkat pertama memiliki siswa yang tidak lulus, yakni  sekitar 3,11 persen atau 1754 siswa, berada di bawah Papua yang memiliki siswa tak lulus sebanyak 2,85 persen. Dan hal yang kurang lebih sama masih terulang lagi pada Tahun 2014 ini.

Anggaran besar tidak serta merta meningkatkan kualitas. Begitulah yang terjadi pada dunia pendidikan di Aceh. Meski sudah digelontorkan dana hingga mencapai Rp. 2,4 T pada Tahun 2014 ini, justru pendidikan masih tetap jeblok. Salah satu indikatornya, bisa dilihat pada hasil UN SMA/MA sederjat, Aceh tetap tidak beranjak masih berada pada rangking terakhir (corot) secara nasional.

Kenyataan tersebut sebenarnya sangat memalukan dan menjadi pukulan berat untuk guru dan pemerintah Aceh. Ironis sekali ketika kita melihat budget sebesar RP. 1 Triliun pada Tahun 2013 lalu dan Rp. 2,4 Triliun pada Tahun 2014 ini tapi pendidikan di Aceh semakin menyedihkah bahkan cenderung tidak bergerak kearah yang lebih baik.

Mengapa hal ini masih terjadi? Dr. Sofyan A, Gani, MA, salah seorang dosen di Unsyiah dalam pertemuan antara Majlis Pendidikan (MPD) Aceh dengan para Ketua Komite Sekolah se-Kota Langsa, di Kota Langsa, belum lama ini, mensinyalir banyak hal yang telah membelit dunia pendidikan di Aceh.

Antara lain, kata dia, pemerintah daerah tidak punya rencana strategis yang jelas tentang pendidikan, banyak guru yang masih tidak mempunyai materi, sehingga ketika UN berlangsung sudah menjadi rahasia umum para siswa be-hp-ria untuk memperoleh kunci jawaban. Selain itu manajemen sekolah masih banyak yang amburadul dan keberadaan Komites Sekolah secara umum juga masih berupa hanya stempel belaka.
Berdasarkan fakta tersebut, diharapkan ke depan evaluasi yang menyeluruh perlu dilakukan dalam pengelolaan Pendidikan di Aceh. Supaya Aceh tidak terus berada di nomor buncit dalam perangkingan secara nasional.(Syaifuddin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar